Rindu yang Ambyar

*Rindu yang Ambyar*
Oleh: Sang Jawara

Bab 1: Hujan dan Pertemuan yang Tak Terduga
Minggu itu, langit Kota Batu mendung sejak pagi. Arjuna baru saja selesai dengan pekerjaannya sebagai terapis home care massage. Tubuhnya lelah, dan hujan deras tiba-tiba mengguyur kota, membuatnya mencari tempat berteduh. Pilihannya jatuh pada depot bakso kecil di sudut jalan, "Bakso Pojok Sana-Sini."

Saat Arjuna memasuki depot, aroma kuah bakso bercampur bawang goreng menyambutnya hangat. Ia memilih meja di pojok, mencoba mengusir dingin dengan semangkuk bakso. Namun, saat matanya menyapu ruangan, jantungnya berhenti sejenak. Di meja seberang, duduklah Sinta, mantan kekasihnya yang sudah lama tak ia temui.

Sinta terlihat masih seperti dulu, manis dan anggun. Namun, ada perubahan: di sampingnya duduk seorang pria berbadan tegap, wajahnya terlihat keras—Karma, suami Sinta.

Sinta yang lebih dulu melihat Arjuna. Ada keraguan di wajahnya, tapi ia akhirnya berdiri dan melangkah menghampiri.
"Arjuna?" sapa Sinta, suaranya lembut, namun terdengar canggung.

Arjuna tersenyum kecil, bingung harus bersikap bagaimana. "Sinta... lama tak jumpa."

Obrolan mereka singkat dan canggung. Namun, kehadiran Karma membuat suasana berubah. Pria itu menatap tajam ke arah Sinta dan Arjuna. "Kamu kenal dia?" tanya Karma dengan nada tak ramah.

Sinta berusaha menjelaskan. "Dia... teman lama." Tapi nada suara Sinta yang goyah justru membuat Karma semakin marah.
"Teman lama? Jangan-jangan dia mantanmu!" Karma berdiri, suaranya meninggi, membuat suasana depot tegang.

Arjuna memilih diam. Ia tak ingin memperkeruh keadaan. Dalam hati, ia merasa getir. Pertemuan ini tak pernah ia rencanakan, apalagi untuk menjadi penyebab keributan rumah tangga orang lain.

Bab 2: Pundak yang Berat
Hujan reda saat Arjuna tiba di rumah. Namun, ada sesuatu yang aneh. Pundaknya terasa berat, panas, dan pegal. Ia mencoba meregangkan tubuh, tapi rasa itu tak juga hilang.

Arjuna duduk di ruang tamu, merenungi apa yang baru saja terjadi. Bayangan Sinta terus terlintas di benaknya. Dahulu, ia mencintai Sinta dengan segenap hatinya. Tapi, hubungan mereka kandas atas kehendak ayah Sinta, yang tak setuju dengan profesi Arjuna.

Kini, melihat Sinta bersama pria lain, Arjuna merasa ada sesuatu yang kosong di hatinya. Apakah rasa ini rindu? Tapi, rindu macam apa yang membuat pundaknya terasa berat seperti ini? Apakah ini pertanda ia belum benar-benar merelakan Sinta?

Bab 3: Karma di Antara Kita
Di tempat lain, Sinta dan Karma masih larut dalam pertengkaran. Karma merasa terhina melihat istrinya berbicara dengan mantan kekasih.
"Kenapa kamu harus menyapanya? Kamu tahu aku tak suka hal seperti ini!" bentak Karma.

Sinta mencoba menjelaskan. "Aku hanya ingin bersikap sopan. Dia masa laluku, tak ada yang perlu dikhawatirkan."
Namun, Karma tak mau mendengar. Di matanya, pertemuan itu adalah pengkhianatan kecil.

Di sisi lain, Arjuna bergulat dengan pikirannya sendiri. Ia teringat masa-masa indah bersama Sinta. Apakah pertemuan tadi adalah kebetulan, atau mungkin takdir yang menguji dirinya?

Namun, rasa pegal di pundaknya membuat Arjuna berpikir lebih dalam. Mungkinkah ini pertanda bahwa rindu yang ia rasakan bukan hanya rindu biasa? Rindu yang tak tersampaikan, yang terhalang oleh waktu dan takdir, kini menjadi beban yang nyata di tubuhnya.

Bab 4: Rindu yang Tak Terucap
Hari-hari berikutnya, rasa pegal di pundak Arjuna tak kunjung hilang. Ia mencoba memijat sendiri, bahkan menggunakan ramuan herbal, tapi hasilnya nihil. Akhirnya, ia mendatangi seorang terapis tradisional, seorang tabib yang cukup tersohor dan  bijak di kota Malang.

Tabib itu memeriksa pundaknya, lalu tersenyum tipis. "Ini bukan sakit biasa, Nak. Ini beban dari hatimu. Ada rindu yang belum kau lepaskan."

Arjuna terkejut. "Rindu?" tanyanya pelan.

"Ya. Rindu yang terhalang oleh masa lalu dan kenyataan. Kau harus merelakan apa yang tak bisa kau miliki lagi," jawab tabib itu.

Arjuna terdiam. Kata-kata itu menohok hatinya. Ia sadar, selama ini ia memang belum benar-benar melepaskan Sinta. Namun, apakah ia mampu?

Bab 5: Merelakan yang Ambyar
Pada akhirnya, Arjuna memutuskan untuk berdamai dengan dirinya sendiri. Ia menulis surat yang tak pernah ia kirimkan kepada Sinta, hanya untuk meluapkan isi hatinya. Dalam surat itu, ia menulis:

"Sinta, mungkin aku terlambat menyadari bahwa perpisahan kita adalah yang terbaik. Aku ingin kau tahu, aku pernah mencintaimu dengan seluruh hatiku, dan kini aku belajar untuk melepaskanmu. Aku harap kau bahagia, meski bukan denganku."

Setelah menulis surat itu, Arjuna merasa beban di pundaknya perlahan menghilang. Ia tahu, rindu yang ambyar ini hanya bisa disembuhkan dengan merelakan.

Di depot bakso itu, rindu yang lama terkubur memang kembali menyala. Tapi Arjuna tahu, ada perasaan yang harus ia simpan sebagai kenangan, bukan sebagai harapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages